Kamis, 03 Mei 2012

PENDIDIKAN, HUKUM DAN KRISIS NURANI (Edt: SAIful aBdullAh, SH, MH)


Sambutan HAMENGKU BUWONO X dalam pertemuan
BKS Fakultas Hukum PTN se Indonesia,
Yogyakarta, 17 Oktober 2010


Indikasi lemahnya penegakan hukum karena elite politik tidak tumbuh di lingkungan budaya disiplin, dan juga hidup dalam tradisi yang permisif. Selain determinan budaya, bidang pendidikan juga memiliki kontribsi signifikan
Di seluruh dunia, termasuk Indonesia, pendidikan hukum diarahkan pada kompetensi profesional dalam menjalankan hukum. Padahal dalam pendidikan ilmu hukum, tidak hanya menjadi ahli hukum semata, tetapi semestinya juga  mengasah nurani mahasiswa akan rasa keadilan sejati, yang nantinya dalam putusan pengadilan diungkapkan “atas nama Tuhan Yang Maha Esa”
Kepedulian pendidikan untuk menghasilkan kaum professional hukum yang laku di pasar kerja. Perusahaan-perusahaan berebut untuk mendapat “sepuluh terbaik” yang dihasikan fakultas-fakultas hukum untuk menjadi sekrup dari mesin perusahaan: membuat legeal opinion dan membela perusahaan jika terlibat masalah hukum.
Kepedulian terhadap aspek kemanusiaan dalam hukum hampir tidak disinggung. Bahkan Amerika Serikat sekalipun, yang disebut “tha champion of democracy and the rule of law”, pendidikan hukumnya lebih berorientasi pada pendidikan yang mengejar materi semata. Seperti yang diamati Gerry Spence, seorang advokat senior dan kritikus, tampilan lawyer banyak dikritik rakyat. Bukan pada profesionalitas mereka, tetapi pada ketumpulan rasa kemanusiaannya, bahkan sejak memasuki law School.
Law Firms lebih menjadi “mesin duit” dari pada “mesin penolong”. Para klien diperlakukan sebagai objek yang dihitung per jam, bukan orang susah yang membutuhkan pertolongan.
Menurut Satjipto Rahardjo, sebaiknya pendidikan hukum di Indonesia menegaskan diri sebagai Pendidikan hukum yang bernurani. Tidak baik kalau hanya mengembangkan pendidikan hukum berbasis kompetensi, tetapi sebaiknya juga berbasis nurani, seperti mengasihi, empati, kejujuran, dan keberanian.
Bahkan menurut Satjipto Rahardjo pula, betapa indah apabila para dosen menggunakan waktu barang lima menit pada akhir kuliah menyampaikan kata-kata penutup agar hukum jangan dipermainkan, tetapi dijalankan dengan amanah dan lebih didasarkan pada rasa keadilan sejati.
Menurut Prof. Ahmad Ali, Penegakan hukum di Indonesia sebatas keadilan “sarang laba-laba”. Keadilan baru menjerat serangga kecil di dalam sarang laba-laba, sedangkan yang besar justru yang merobek sarang laba-laba tersebut. Melihat penegakan hukum selama ini, tentu saja kita berhak hawatir. Negara hukum Republik Indonesia rasanya tidak menjadi layaknya rumah berteduh dengan suasana yang aman, sejahtera dan bahagia.
Negara hukum masih dipahami sebagai suatu kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang didasarkan pada dan dikendalikan oleh hukum Negara semata. Maka, kasus-kasus seperti Raju, Prita, semuanya menyangkut perilaku innocent tanpa mengandung niat jahat atau Criminal intent  di dalamnya. Raju berkelahi dengan sesama teman, layaknya perkelahian anak-anak. Prita hanya ingin curhat kepada sesama ibu rumah tangga lewat e-mail.
Kendatipun perilaku itu bersifat innocent, tapi cukup mengantarkan mereka ke rumah tahanana. Prita kehilangan kontak dengan dua anak yang masih balita. Raju dan anak-anak sebayanya terganggu sekolahnya.
Memang hukum harus ditegakkan, tetapi dengan penuh kehati-hatian, karena akan mengiris ke dalam daging bangsa sendiri. Membaca hukum tidak hanya sebagai teks, tetapi sesuatu yang penuh kandungan moral.
Sebagai sandarannya, bahkan sudah sejak zaman kekaisaran Roma, tertuang dalam pepatah, “Quid leges sine moribus?  Apa artinya undang-undang, jika tidak disertai moralitas..
Rekaman yang diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi lalu, secara gambang kita mendengar bagaimana dengan mudahnya hukum diperjual belikan, padahal itupun baru menggambarkan puncak gunung es yang tampak dipermukaan.
Konsekuensinya, para penegak hukum, polisi, jaksa dan hakim atau advokat pun tidak boleh menjadikan dirinya robot atau bagian dari mesin hukum. mereka mestinya menjadi “kaki tangan dari Negara hukum” yang menjadikan Indonesia rumah yang memberikan rasa aman dari kesewenangan hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan hukum.
Dalam hal ini Cornell Clayton mengingatkan kita, bahwa “politik memasuki proses-proses hukum dengan cara-cara halus dan kompleks”. Maka tepat yang dikatakan Marc Galanter, bahwa pada akhirnya dalam memutus perkara di pengadilan selalu terjadi “ The have come out ahead” Karena hanya The Have – yang memiliki kekuasaan dan materi- yang mampu bermain dengan peraturan.
Bertolak dari realita keadilan yang amat kasat mata itu, jika dalam pendidikan Pancasila yang berkaitan dengan Ilmu Hukum coba diajarkan dengan urutan terbalik, mulai dari yang paling dasar dari Keadilan Sosial
Secara metaforis, ibarat anak tangga sila kelima terletak paling bawah yang perlu ditapaki pertama sebelum melangkah ke atas. Secara sosiologis, keadilan sosial di bidang ekonomi, menjadi tuntunan fundamental.  Jika prinsip keadilan dan kesejahteraan terjamin, jalan menuju sila-sila lainnya menjadi lebih kuat.
Tidak terbayangkan, kehidupan demokrasi yang dijamin oleh sila ke empat, jika beban hidup rakyat semakin berat tak tertahankan. Orang sulit bersikap demokratis dalam situasi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi. Tidak terbayangkan jika sila ke empat, Permusyawaratan rakyat, dijalankan dengan perut lapar.
Jika pijakan sosial ekonomi kuat, sesuai sila ke lima dan demokrasi kuat, sesuai sila ke empat, kegairahan hidup bersama dan persatuan yang ditegaskan dalam sila ke tiga akan menjadi kian kuat. orang akan saling menghargai keberagaman sebagai sesama warga dalam semangat demokratis.
Jika sila ke lima, ke empat dan ke tiga  dilaksanakan dengan baik, maka tangga sila ke dua, Kemanusiaan, akan tercipta dalam keadilan sosial, demokrasi, dan persatuan.
Tidak mungkin kemanusiaan yang adil dan beradab akan dihormati jika tidak ada keadilan sosial, tidak ada demokrasi dan tidak ada persatuan. Perpecahan atau permusuhan akan membahayakan kemanusiaan itu sendiri.
Jika empat sila itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, penghayatan sila keTuhanan akan semakin kokoh. Rasa keTuhanan akan rendah jika orang terus bergulat dalam kemiskinan, tidak demokratis, tidak menghargai persatuan, dan kemanusiaan. Basis yang kuat dalam bidang ekonomi akan memperkukuh pula penghayatan terhadap sila ke tiga, kedua, dan pertama.
Harapan, semoga pertemuan pendidikan hukum mengumandangkan kembali semangat yang terkandung dalam pepatah Latin; Pengadilan adalah istana di mana Dewi Keadilan bersemayam untuk menyuburkan aroma keadilan tiada henti.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes