Kamis, 26 April 2012

KERANGKA TEORITIS KEBIJAKAN PENANGGULANGAN ALIRAN SESAT. Oleh: Saiful Abdullah, SH, MH

Effort to overcome negative facet of errant stream as part of the problem of religion in society, shall be seen in relation of is overall of Criminal Policy or of social defense planning as effort for the conservancy of society order, protection of society of badness, and look after or maintain certain elementary views integrity regarding social justice. In this  perpective,  tackling crime ( including errant stream) in general can be gone through to pass two approach that is penal and non penal. Both at the site used to have to walk together by synergies, equiping each other.
Keyword: Penal Policy, Non Penal Policy


A.    Agama, Aliran Sesat dan Kekerasan
Kemerdekaan memeluk agama dan kepercayaan merupakan hak fundamental Hak Asasi Manusia, namun sejarah pemikiran filsafat dan perkembangan-perkembangan agama di dunia, hampir bisa dipastikan terdapat sekelompok orang maupun perorangan yang memiliki ritual-ritual menyimpang atau nyeleneh dari agama yang dianutnya. Akibatnya,  selalu ada pihak yang dinyatakan salah, sesat[1] menyimpang dan keluar dari rel keagamaan umum.
Aliran sesat secara sederhana dapat diartikan sebagai haluan, pandangan, semangat atau kecenderungan ke arah pengembangan sekte/ kelompok tertentu dalam agama yang menyimpang dari kebenaran. Al-qur’an surat Al-Fatihah ayat 6-7 menyatakan; “ Tunjukilah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan yang dimurkai , dan bukan pula mereka yang sesat”. (Imam Jalaluddin Al Mahally, dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Terjemah Tafsir Jalalain berikut Asbabun Nuzul Ayat. Sinar Baru, Bandung 1990, hal 3)
Perbedaan pemikiran, pemahaman dan keyakinan terhadap agama, tentunya di samping membawa dampak positif,[2] tetapi juga membawa dampak negatif,[3] yaitu sebagai faktor penghancur sendi-sendi sosial masyarakat apabila perbedaan pemahaman itu berimplikasi pada sikap mencari benarnya sendiri.
Menyikapi maraknya perkembangan Aliran Sesat  di Indonesia, MUI sebagai “lembaga tafsir agama” mengeluarkan 10 fatwa sesat untuk aliran yang dianggap melanggar syariat Islam. (http://www.ppi-india.org, 21 September 2005). Selain itu, di antara pemimpin sekte atau aliran yang dituduh sesat seperti Lia Aminuddin, diadili oleh pemerintah[4]  dengan tuduhan melakukan penodaan, penyimpangan agama (M. Yuanda Zara, Aliran-aliran Sesat di Indonesia, Banyu Media, Yogyakarta, 2007 hal. 82 ). Nasib sama juga dialami Yusman Roy yang mengajarkan solat dua bahasa, didakwa melanggar pasal 156 KUHP dan pasal 157 KUHP.  (A. Yogaswara, Maulana Ahmad jalidu, Aliran Sesat dan Nabi-nabi Palsu, Narasi, Yogyakarta 2008, hal 93)
Bahwa walaupun di antara pemimpin sekte atau aliran yang dituduh sesat diadili dan diberi sangsi pidana dengan tuduhan melakukan penodaan, penyimpangan agama, namun pengikutnya masih tetap patuh dan setia. Bahkan selepas dari penjara, sebagian di antara mereka tetap bertekad melanjutkan ajaran dan keyakinan bersama komunitasnya. Akibatnya, sebagian masyarakat yang tidak puas, banyak yang melakukan tindakan main hakim sendiri berupa serangkaian tindakan anarkis seperti eksekusi paksa massa, pengrusakan, pembakaran sarana fasilitas ibadah dan tindakan kekerasan lainnya. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat umumnya dilakukan karena salah satu penyebabnya adalah ketidaktegasan pemerintah menindak para pelaku (Gatra edisi VI, 13 Maret 2008) disamping subtansi ajarannya[5] dalam masyarakat dinilai menimbulkan keresahan, kekhawatiran, perpecahan di kalangan anggota keluarga dan masyarakat.
Kondisi di atas tentu menimbulkan kontroversi, diversi opini di kalangan masyarakat luas, ada yang setuju ada yang tidak setuju terhadap MUI dan pemerintah dalam menghadapi masalah aliran sesat. Akibatnya, kebijakan kriminal  yang seharusnya menurut Sudarto sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan (Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, Bandung 1996 hal. 38.),  disamping secara konseptual, sebagai bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare),( Barda Nawawi Arief. 1994. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 2) namun faktanya, usaha dan upaya tersebut, seolah-olah masih belum terpenuhi, indikasinya adalah meningkatnya masalah-masalah kejahatan (aliran sesat)[6] dan kekerasan-kekerasan yang berlatar belakang agama dan kepercayaan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, terdapat dua hal menarik untuk dilakukan kajian dari perspekrif kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi aliran sesat untuk saat ini dan untuk saat yang akan datang maupun kebijakan non penal yang dapat dilakukan terhadap aliran sesat.


B.     Kebijakan hukum pidana terhadap aliran sesat saat ini

Kalau ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai institusi pencarian kebenaran, maka pada waktu yang sama harus dikatakan bahwa pencarian kebenaran itu adalah proses yang dramatis. Ilmu pengetahuan memang berburu kebenaran, tetapi sekaligus juga disadari, bahwa kebenaran itu sendiri, kebenaran absolut, tidak pernah akan ditemukan. Memang suatu yang tragis, tetapi benar, karena hanya Allah tempat kebenaran yang sempurna. (Satjipto Rahardjo, Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum  Universitas Diponegoro, 15 Desember 2000, hal11)
Bertolak dari hal tersebut di atas, dalam rangka menangulangi aliran sesat yang akhir-akhir ini  semakin marak terjadi di Indonesia, diperlukan suatu ilmu yang dapat memberi solusi antisipatif dalam rangka mencegah terjadinya kerusuhan maupun ketidak stabilan sosial,  sehingga  tujuan bangsa sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan pembangunan  nasional tidak  terhambat.
KUHP sebagai dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang  tidak boleh dilakukan, memiliki tujuan-tujuan sebagaimana tujuan hukum pada umumnya. Arti terpenting dari adanya hukum pidana sebagai bagian dari sistem hukum yang berlaku di dalam suatu negara, terletak pada tujuan hukum pidana itu sendiri yakni menciptakan tata tertib di dalam masyarakat sehingga kehidupan masyarakat dapat berlangsung dengan damai dan tenteram.
Ajaran moderen berpendapat, bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan, di samping tujuan-tujuan lainnya. Artinya masyarakat perlu memperoleh perlindungan dengan jelas, tersirat, hukuman-hukuman apa yang dapat dijatuhkan kepada pelanggar ketertiban baik yang membahayakan jiwa, harta benda atau kepentingan masyarakat lainnya, termasuk kepentingan dalam kehidupan beragama.
Jadi, kebijakan penal (hukum pidana) pada hakikatnya mengandung unsur preventiv, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik/ kejahatan diharapkan adanya efek pencegahan/ penangkalnya. Hal ini berarti, bahwa hukum pidana difungsikan sebagai sarana pengendali sosial, yaitu dengan sanksinya yang berupa pidana untuk dijadikan sarana menanggulangi kejahatan.
Selain itu, kebijakan penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan, karena hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial  untuk menyalurkan “ketidak sukaan masyarakat (Social dislike) atau pencelaan/ kebencian sosial  (Social disapproval/ Social abhorrence) yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana perlindungan sosial (Social defence). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa “Penal policy” merupakan bagian dari kebijakan perlindungan sosial (Social Defence Policy) yang memiliki sifat universal di semua negara. 
Merunut aspek kesejarahan kebijakan penanggulangan mengenai delik-delik agama (termasuk aliran sesat) sampai dikeluarkannya UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, Lembaran Negara No. 3 Tahun 1965, tertanggal 27 Januari 1965 berdasarkan pertimbangan timbulnya aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama. Ajaran dan perbuatan aliran-aliran itu telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai agama, [7].
Secara yuridis, penanggulangan terhadap tindak pidana agama, Penjelasan UU No. 1/PNPS/1965, bab I angka 2 menyatakan;
Telah ternyata, bahwa akhir-akhir ini hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/ kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama
Di antara ajaran-ajaran/ perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai agama. Dari kenyataan teranglah, bahwa aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/ kepercayaan masyarakat yang menyalahgunakan dan/ atau mempergunakan agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan agama-agama yang ada.
Melihat uraian dan penjelasan UU No. 1/PNPS/1965, maka latar belakang munculnya UU No. 1/PNPS/1965 adalah sebagai berikut; [8]
-          sila pertama Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) yang tidak dapat dipisahkan dengan agama, merupakan landasan moral dan landasan kesatuan nasional
-          banyak muncul aliran kepercayaan yang menyatakan dalam ajarannya, bahwa aliran tersebut mempunyai nabi dan kitab suci sendiri
-          aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/ kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama
-          aliran-aliran tersebut sudah banyak menimbulkan pelanggaran hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai agama.
-          menyalahgunakan dan/ atau mempergunakan agama sebagai pokok sangat membahayakan agama-agama yang ada.
-          ketentraman beragama perlu di pupuk dengan melakukan pencegahan terhadap “penyelewengan terhadap ajaran pokok agama” dan “penodaan agama serta ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama
Selanjutnya, tujuan dikeluarkannya UU No. 1/PNPS/1965 adalah sebagai berikut;
1.      Perlindungan terhadap kesatuan nasional
Dalam penjelasan umum angka 1 aliena kedua dinyatakan, “.......tetapi juga memastikan kesatuan nasional”. Jadi yang menjadi objek perlindungan adalah persatuan nasional
2.      perlindungan terhadap ketentraman beragama,
Dalam penjelasan umum Bab I angka 4 UU No 1 tahun 1965, tujuannya adalah ketentraman  beragama. Jadi yang menjadi titik fokus tujuan undang-undang ini adalah ketentraman. Berbicara masalah ketentraman, pasti selalu terkait dengan masalah ketertiban umum, yang jika dibiarkan bisa memecah persatuan nasional.[9]
3.      perlindungan ansich terhadap agama.
Penjelasan umum Bab I angka 4 UU No 1 tahun 1965 menyatakan, bahwa tujuan dari dikeluarkannya UU No 1 tahun 1965 adalah ;Pertama, mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari “ajaran agama” yang dianggap sebagai ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan. Kedua, Melindungi dari penodaan/ penghinaan serta ajaran-ajaran untuk tidak memeluk  agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Untuk menjamin agar tidak terjadi penyimpangan dan penodaan terhadap agama, undang-undang No 1 Pnps 1965 menyatakan;
Pasal 1
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang di anut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang  dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Jadi menurut Pasal di atas, objek yang hendak dilindungi adalah “agama”, sebagaimana terlihat dari rumusan, “....penafsiran dan kegiatan mana menyimpang  dari pokok-pokok ajaran agama itu”.
Sedangkan Pasal 4  UU No 1 Pnps 1965 jo Pasal 156 a huruf a KUHP menyatakan:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a.       yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b.      dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selanjutnya Pasal  4 No 1 Pnps 1965 di atas menjadi Pasal 156 a pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Oleh karena itu untuk memudahkan pembahasan ini, selanjutnya disebut Pasal 156 a KUHP saja. Aturan ini juga pada hakikatnya juga ditujukan untuk melindungi “agama” dari penodaan, penyalahgunaan atau penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Agama-agama yang hendak dilindungi dalam undang-undang ini,  penjelasan Pasal 1 UU No 1 Pnps 1965 menyatakan;
Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir  seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang di berikan Pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh Pasal ini.
Mengacu pada penjelasan Pasal di atas, selain 6 agama sebagaimana disebutkan, masih ada agama lain yang mendapat jaminan  sama, seperti penjelasan selanjutnya menyatakan;
Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya; Jahudi, Zarasuastrian, Shinto, Taoisme dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkannya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau perundangan lain
Jadi, melihat UU No 1 Pnps 1965,  inti yang terlarang menurut Pasal 1 di atas ialah “melakukan penafsiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Dengan kata lain, mencegah agar jangan sampai terjadi penyimpangan-penyimpangan/ penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan.
Pada prinsipnya setiap orang itu boleh dan dibenarkan untuk melakukan penafsiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan, sebab hal ini merupakan kebebasan dan hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 29 UUD 1945, hanya saja perbuatan melakukan penafsiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan itu bukannya tanpa syarat, syaratnya adalah undang-undang. Sedangkan syarat melakukan penafsiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan menurut undang-undang ini adalah “tidak menyimpang  dari pokok-pokok ajaran agama itu”
Selain itu kebebasan “mengeluarkan perasaan” atau “melakukan perbuatan” keagamaan menurut Pasal 156 a KUHP ini pada prinsipnya sama dengan Pasal 1 UU No 1 Pnps 1965. Artinya, siapapun boleh dan dibenarkan untuk “mengeluarkan perasaan” atau “melakukan perbuatan” keagamaan, sebab hal ini juga merupakan kebebasan dan hak asasi manusia yang sepenuhnya dijamin oleh undang-undang, khususnya Pasal 29 UUD 1945..
Walaupun kemerdekaan dan kebebasan merupakan hak asasi manusia dan sekaligus juga hak asasi masyarakat, termasuk kebebasan seseorang di  dalam  berideologi, beragama, berkepercayaan dan berkeyakinan, melakukan ibadah sesuai dengan agamanya dan lain sebagainya, namun bukanlah kebebasan yang liar dan tanpa tujuan. kebebasan itu pasti selalu bersyarat dan tidak melampaui batas, batasnya adalah hukum atau undang-undang.
Pasal  28J UUD 1945 (amandemen ke-2) menyatakan;
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pasal  28J UUD 1945 (amandemen ke-2) di atas, kebebasan dalam berideologi, beragama, berkepercayaan dan berkeyakinan, melakukan ibadah sesuai dengan agamanya dan lain sebagainya dibatasi oleh; hak dan kebebasan orang lain dan undang-undang, di antaranya melalui formulasi Pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP dan UU No 1 Pnps 1965.
Jadi, syarat dan batasan melakukan “penafsiran, kegiatan-kegiatan keagamaan, mengeluarkan perasaan, melakukan perbuatan keagamaan” menurut undang-undang ini adalah; tidak menyimpang  dari pokok-pokok ajaran agama , tidak bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan, tidak bermaksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jadi, siapapun yang melakukan “penafsiran, kegiatan-kegiatan keagamaan, mengeluarkan perasaan, melakukan perbuatan keagamaan”  yang menyimpang  dari pokok-pokok ajaran agama , bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan, dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, konsekuensinya, berdasarkan undang-undang ini, dilarang dan diancam dengan sangsi pidana.


  1. Kebijakan Penanggulangan  Aliran Sesat Untuk Masa Yang Akan Datang Dalam Konsep KUHP


Kebijakan kriminal (khususnya substansi hukum pidana mengenai delik-delik agama, pen) yang seharusnya menurut Sudarto sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan,( Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, Bandung 1996 hal. 38) di samping secara konseptual, sebagai bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare (Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2002 hal 2),[10] namun faktanya, usaha dan upaya tersebut, seolah-olah masih belum terpenuhi, indikasinya adalah meningkatnya masalah-masalah kejahatan[11] dan kekerasan-kekerasan yang berlatar belakang agama dan kepercayaan.
Kondisi demikian dan perkembangan di Indonesia, memunculkan gagasan untuk melakukan upaya “pemikiran kembali” yang berarti “re-evaluasi, review, reorientasi, reformasi atau reformulasi” dan “penggalian hukum” dalam rangka memantapkan strategi penanggulangan kejahatan yang integral, ialah dengan melakukan pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach , baik nilai-nilai kemanusiaan maupun nilai-nilai identitas budaya dan nilai-nilai moral keagamaan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, adalah wajar jika delik-delik agama tetap dipertahankan sebagai suatu upaya untuk menanggulangi kejahatan-kejahatan yang berdimensi keagamaan, khususnya aliran sesat. Artinya, negara-negara lain saja yang tidak mendasarkan dirinya kepada “Ketuhanan Yang Maha Esa”, mengatur delik-delik agama dalam KUHP mereka, apalagi Indonesia yang mendeklarasikan sebagai negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sampai konsep terakhir, ruang lingkup tindak pidana /delik Agama dalam Konsep RUU KUHP 2010 masih mencakup pengertian tindak pidana /delik  “terhadap agama”; dan tindak pidana /delik “yang berhubungan dengan agama” atau “terhadap kehidupan beragama”. Selengkapnya sebagai berikut;



BAB VII
TINDAK PIDANA TERHADAP AGAMA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA
Bagian Kesatu
Tindak Pidana terhadap Agama
Paragraf 1
Penghinaan terhadap Agama

Pasal 341
Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling  lama  2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.

Pasal 342
Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat‑Nya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Pasal 343
Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau meren­dahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Pasal 344
(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar, sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan suatu rekaman  sehingga ter­dengar oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 atau Pasal 343, dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.

Paragraf 2
Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama

Pasal 345
Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang sah dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Bagian Kedua
Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah

Paragraf 1
Gangguan terhadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan Keagamaan

Pasal 346
(1)           Setiap orang yang mengganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jamaah yang sedang  menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama  3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
(2)           Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang ber­langsung, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II.
       
Pasal 347
Setiap orang yang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejek  petugas agama yang  sedang melakukan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.

Paragraf 2
Perusakan Tempat Ibadah

Pasal 348
Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipa­kai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Jadi kalau dicermati lagi, dalam konsep KUHP 2010 terdapat bab khusus, yakni bab VII yang berjudul “Tindak Pidana Terhadap Agama Dan Kehidupan Beragama”. Menurut Barda Nawawi Arief, diadakannya bab khusus ini dimulai sejak konsep pertama buku ke II tahun 1977 yang dikenal dengan istilah konsep BAS (konsep yang disusun oleh tim basaroedin), yaitu dimasukkan dalam Pasal 181 s/d 196 bab VI. Sampai dengan perkembangan konsep 1993-1998, tetap dimasukkan dalam bab VI (menjadi Pasal 257-264). Dalam konsep selanjutnyadimasukkan dalam bab VII buku II, yaitu dalam Pasal 290-297, konsep 2000-2002 dalam Pasal 336-343 konsep 2004 dalam Pasal 342-345 konsep 2005; dan Pasal 342-346 konsep 2006. [12]
Ruang lingkup Tindak Pidana agama dalam Konsep 2006 di atas, sama dengan yang diatur dalam tahun-tahun sebelumnya. Tindak pidana/ delik agama dalam konsep 2006 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kesatu tentang “tindak pidana terhadap agama”. Sedangkan bagian kedua tentang “Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah”
Bagian kesatu  tentang “tindak pidana terhadap agama”, terdiri dari dua paragraf, yaitu;
1.      Paragraf penghinaan terhadap Agama (Pasal 341-344) yang dirinci menjadi;
-          menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia (Pasal 341)
-          menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat‑Nya (Pasal 342)
-          mengejek, menodai, atau meren­dahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan (Pasal 343)
-          delik penyiaran Pasal 341 atau Pasal 343 (Pasal 344)
2.      Paragraf Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama (Pasal 345 )

Bagian kedua tentang “tindak pidana terhadap agama”, terdiri dari dua paragraf, yaitu “Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah”, terdiri dari dua paragraf ;
a.       Paragraf  kesatu tentang “gangguan terhadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan Keagamaan” sebagaimana dalam Pasal 346-347, yaitu;
-          Pasal 346 ayat (1) ; mengganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jamaah yang sedang  menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan
-          Pasal 346 ayat (2)membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang ber­langsung,
-          Pasal 347 mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejek  petugas agama yang  sedang melakukan tugasnya
2.      Paragraf  kedua tentang “Perusakan Tempat Ibadah” yaitu;
-          Pasal 348 menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipa­kai untuk beribadah

Menurut Barda Nawawi Arief, dari perincian di atas terlihat, bahwa delik-delik agama yang diatur dalam Konsep itu, semuanya tergolong dalam delik agama dalam pengertian tindak pidana /delik  “terhadap agama”; dan tindak pidana /delik “yang berhubungan dengan agama” atau “terhadap kehidupan beragama”. [13]




D.    Kebijakan Non penal Terhadap Aliran Sesat
Penelusuran secara historis pemikiran orang-orang tentang agama, jika diapresiasi dengan baik niscaya akan sampai pada kesimpulan sederhana bahwa gagasan tentang agama telah ada sejak manusia ada. Hal ini berawal ketika manusia dalam menjalani hidupnya pasti menemukan sesuatu yang ia sendiri tidak bisa menyelesaikan dan memahaminya.
Agama mengajarkan manusia tentang makna dan tujuan hidup, agama merupakan tempat dimana orang menemukan kedamaian, kedalaman hidup, dan harapan yang kukuh dalam kesungguhan memperjuangkan dan melakukan tahap-tahap kegiatan dalam rangka mencapai tujuan hidup abadi. [14] (Muhammad Wahyuni Nafis, Passing Over melintasi batas agama, Gramedia Pustaka Agama, Jakarta 1999 hal 78)
Hal ini berarti bahwa aliran sesat merupakan bagian dari perbedaan pandangan, paham/ aliran keagamaan/ kepercayaan yang ada dalam sepanjang sejarah agama. Selain itu keberadaan aliran sesat/ perbedaan pandangan keagamaan seringkali menimbulkan  Keresahan, kekerasan ketegangan sosial
Bahwa methode dan alternatif pencegahan dan penanggulangan terhadap aliran sesat/ perbedaan pandangan keagamaan dapat dilakukan secara Preventif, di antaranya dengan membangun komitmen bersama (model piagam madinah/ zaman khalifah), membangun sikap saling pemahaman dan toleransi seperti model penyelesaian konflik NU dan Muhammadiyah[15].
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, sebesar apapun perbedaan pandangan, paham/ aliran keagamaan/ kepercayaan/ aliran sesat, jika  disikapi dengan bijak, akhirnya akan tercipta kerukunan hidup dalam beragama dan berdampingan secara damai.
Kongres-kongres PBB mengenai “the prevention of crime and the treatment of offenders menyatakan bahwa pencegahan  kejahatan harus didasarkan pada  penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan. Upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi  yang demikian harus merupakan "strategi  pokok/mendasar  dalam upaya pencegahan kejahatan"  (the  basic crime prevention strategy).  [16] (Barda Nawawi Arief, 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung; 2005 hal 77-78)
Mengacu pada kongres-kongres PBB mengenai “the prevention of crime and the treatment of offenders di atas, maka Pencegahan  terhadap aliran sesat (sebagai kejahatan menurut UU No 1 Pnps 1965), sepatutnya harus didasarkan pada  penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya aliran sesat (kejahatan).
Tentu saja upaya penggulangan aliran sesat melalui sarana non penal akan lebih mempunyai sifat pencegahan. Sehingga yang menjadi sasaran utama penanganannya adalah mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan. Fakto-faktor tersebut adalah yang ditujukan terhadap kondisi-kondisi sosial yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan munculnya aliran-aliran sesat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, substansi masalah aliran sesat, hakikatnya adalah sakitnya “kehidupan beragama”. Artinya ada sesuatu yang “sakit” dalam praktek kehidupan beragama. Oleh karena itu,  yang “diobati” sepatutnya adalah “penyakit” yang ada dalam “kehidupan beragama” itu sendiri.
Sebagai salah satu bentuk dari “penyimpangan agama”, adalah wajar upaya penanggulangan aliran sesat juga harus ditempuh dengan pendekatan agama (religion prevention). [17] Selain itu diperlukan pula pendekatan budaya/kultural, pendekatan moral/edukatif  karena diantara faktor-faktor penyebab munculnya aliran sesat juga terkait erat dengan budaya dan keawaman (pendidikan) penganutnya.
Artinya, Jika yang sakit adalah “kehidupan beragama”, maka sepatutnya “obat” yang paling tepat adalah “resep” yang bernama “agama” sendiri, dengan kata lain menjadikan agama sebagai “petunjuk” dalam setiap pengambilan keputusan maupun bertingkah laku, sekaligus menjadikan agama melalui ajarannya sebagai “obat” media penyadaran umat dari sakitnya.
Jadi, penanggulangan aliran sesat/ perbedaan pandangan keagamaan/ kepercayaan,  dapat dilakukan dengan melakukan “pendekatan agama” sebagai sarana non penal. Atau dengan kata lain, pendekatan agama merupakan salah satu upaya non penal dalam menanggulangi aliran sesat perbedaan pandangan keagamaan/ kepercayaan, misalnya upaya konkretnya dapat dilakukan dengan Pendekatan Pendidikan/ edukatif, Pendekatan kultural dengan cara membangun komitmen bersama, dakwah, dialog.
Nabi Muhammad SAW  bersabda: “Seorang manusia yang dilahirkan bak kertas putih, terserah kepada ibu bapaknya, apakah ia nanti menjadi Nasrani, Majusi atau Muslim” ( Al Hadist ).  
Hadits di atas berarti; Pertama, pendidikan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi manusia dalam pembentukan karakter dan bertingkah laku dalam kehidupan pribadi dan sosialnya. Kedua, kewajiban orang tua (semua pihak) untuk membekali anaknya dengan pendidikan, agar bisa menjadi orang yang diharapkan
Selain itu, menurut kajian  disiplin Psikologi Pendidikan ditegaskan; bahwa manusia dalam perkembangannya dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama faktor pendidikan. Karena, secara filosofis manusia yang dicita-citakan terbentuk melalui proses pendidikan, adalah manusia yang utuh berdasarkan prinsip monodualis104. (Sunarjo Wreksosuharjdo, Ilmu Pancasila Yuridis Kenegaraan dan Ilmu Filsafat Pancasila .Andi Yogyakarta:Yogyakarta.2001.hal. 36)
Prinsip manusia monodualis menekankan bahwa manusia Indonesia harus sadar bahwa di samping sebagai mahluk pribadi juga sebagai mahluk Tuhan. Hakikat sebagai mahluk Tuhan, maka manusia harus hormat dan takzim kepada Tuhan, memuliakan Tuhan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Manusia dalam konteks mahluk pribadi, maka manusia harus berkembang dan selalu berkarya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai kosekuensi dari hukum alam, hukum Allah (Sunatullah) dengan menghormati sesama manusia dan sesama mahluk ciptaan Allah

Al Mawardi dalam Al Ahkam al Sulthoniyah menyebutkan; kelompok umat Islam yang memiliki pandangan berbeda dari mayoritas serta mencoba mengembangkan suatu pendapat sendiri tidak bisa diperlakukan sewenang-wenang selama mereka tidak melakukan pemberontakan terang-terangan. Mereka harus diperlakukan secara adil, tanpa dikurangi sedikitpun hak dan kewajiban mereka.[18]  
Abdurrahman Wahid saat menghadiri simposium bertema Dialogue among Civilization: Toward a Culture of Peace di gedung PBB pada tanggal 13 Juni 2000 menegaskan pentingnya para tokoh agama memiliki pandangan dan wawasan yang luas serta tidak mencurigai agama lain. Para tokoh agama yang satu hendaknya bisa belajar dari agama lain. Jika ajaran agama dijalankan dengan baik, maka problem masyarakat bisa diatasi. Pemahaman secara sempit dan kaku terhadap agama tertentu diharapkan bisa di atasi melalui pendidikan dan toleransi.[19] (www.kompas.com/kompas-cetak/0006/16/nasional/haru06.htm)
Selain itu, terdapat Resolusi Konflik model Rosulullah yang dikenal dengan “Resolusi Makkah”; menekankan bahwa setiap orang Islam adalah individu yang harus mengekspresikan ide-ide perdamaian. Sesuai dengan namanya, masyarakat Muslim sudah sejak awal diingatkan harus menjadi masyarakat yang cinta damai, nir kekerasan dan menegakkan dimensi positif bagi kehidupannya. Karakter dasar dari resolusi konflik ini adalah menghindari konflik dan menawarkan sifat-sifat kesamaan Islam dengan kaukus abrahamic religion.
Bentuk resolusi ini lebih mengkedepankan pendekatan kultural dengan solusi psikologis ini dapat diketahui dari penyampaian doktrin agama yang sejuk[20], sehingga dapat menyadarkan seseorang dalam kesesatannya menghindari konflik terbuka dan mengembangkan mentalitas kesabaran kalangan umat. (Thoha Hamim et al, Resolusi Konflik Islam Indonesia, LkiS Pelangi Aksara,  LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2007 hal 65)
Pengunaan cara demikian tentu saja memiliki efek preventif, yakni mencegah seseorang berbuat sesat, yaitu seseorang lebih menyadari bahwa agama yang dianutnya merupakan agama yang  mengkedepankan solusi psikologis ini menyentuh umat dalam memahami agamanya maupun mencegah terjadinya konflik perbedaan agama/ aliran.
Dilihat dari perspektif kebijakan kriminal, maka metode “pendekatan kultural dengan membangun komitmen bersama” ini merupakan suatu upaya rasional dan merupakan bagian/ bentuk upaya non penal yang berfungsi sebagai pencegahan bagi seseorang untuk beralih ke aliran sesat sebab metode ini mengkedepankan solusi psikologis bagi umat dalam menjalankan kehidupan agamanya, maupun mencegah terjadinya konflik perbedaan agama/ keyakinan/ kepercayaan.
Oleh karena itu di masa yang akan datang, model “pendekatan kultural dengan membangun komitmen bersama” merupakan suatu tawaran yang patut diperhitungkan dalam rangka menanggulangi merebaknya aliran sesat maupun konflik kekerasan dalam kehidupan beragama.
Selain pendekatan cultural, pendekatan non penal melalui dakwah adalah solusi yang sangat penting untuk dilakukan. Terkait dengan hal ini, methode/ strategi dakwah sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an yang perlu ditempuh setiap orang dalam mengajak atau membimbing orang kepada kebenaran dan hidayah, yaitu;
Ajaklah mereka  ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik, sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS-  An-Nahl  125).[21] (Imam Jalaluddin Al- Mahalliy dan As-Suyuthi, Imam Jalaluddin, 1990, op.cit. hal 118-119)
Sayyid Qutub memberikan penjelasan yang cukup baik tentang ayat ini. Menurutnya, Al-Qur’an melalui ayat ini meletakkan prinsip dasar dan kaidah-kaidah dakwah, menentukan jalan dan menggambarkan methodenya bagi manusia, sebagai berikut;. [22] (Aibdi Rahmat, Aibdi, Kesesatan dalam Perspektif Al-Qur’an. Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2007 hal 197-198)
Pertama, strategi pertama adalah mengajak dengan bijaksana (hikmah). Untuk itu yang harus diperhatikan adalah kondisi orang yang akan diajak kepada hidayah dan juga ruang lingkup sosialnya. Oleh karena itu, penyampaian dakwah adalah menurut tingkat kemampuan pribadi dan kondisi sosialnya. Bila dapat memahami dan mengenali kondisinya, maka penyampaian dakwah akan mudah dilakukan dan tidak menyulitkan karena tidak siapnya orang yang menerima. Oleh karena itu, perlu beragam cara dan methode yang ditempuh, menurut kesiapan masing-masing orang yang menerimanya.
Strategi kedua, yaitu pengajaran yang baik yang dapat masuk ke dalam hati melalui cara yang lembut sehingga terhunjam perasaan yang dalam karena kelembutan tersebut. Dalam memberi pengajaran tidak boleh membentak dan mencela bila tidak perlu, dan tidak membuka keburukan atau kesalahan yang telah berlalu. Lemah lembut dalam memberi pengajaran dapat memberi pengaruh yang lebih besar dalam memberi petunjuk kepada hati yang bingung dan melembutkan hati yang keras. Pengajaran yang baik lebih berkesan daripada herdikan dan celaan.
Strategi yang ketiga yaitu berdiskusi atau berdialog dengan cara yang baik, yaitu tanpa membebani dan menekan terhadap orang yang berbeda pendapat, menghina dan menjelekkan. Dengan adanya ketenangan dan keyakinan pada sang da’i dan merasakan bahwa ia tidak bertujuan mengalahkan seseorang dalam dialog itu, tetapi bertujuan untuk menyampaikan kebenaran, maka dakwah dapat dilaksmanusiaan dengan baik. Jiwa manusia memiliki sifat sombong dan menentang. Ia tidak akan beranjak dari pendapatnya kecuali diajak dengan cara yang lembut, sehingga tidak merasa dikalahkan.
Yusuf al-Qordlowi mengemukakan methodologi dakwah, yaitu membidik rasio dan hati, berdialog dengan cara yang baik, berkomunikasi dengan bahasa mereka. [23]Artinya, jika dakwah dilakukan dengan benar, yaitu menyentuh rasio dan hati, maka diharapkan, seseorang dapat merasa menghayati kebenaran ajaran-ajaran agamanya. Secara psikologis, yang bersangkutan seseorang merasa bahwa eksistensi dan harga dirinya tetap terjaga. Dengan demikian dia merasa keinsyafan, kesadaran yang tidak dipaksakan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dilihat dari perspektif kebijakan non penal, upaya dakwah ini merupakan suatu upaya strategis dalam rangka mencegah munculnya dan mengobati “menyadarkan” umat dalam kesesatannya, maupun pencegahan terhadap terjadinya kekerasan dalam kehidupan beragama, karena dakwah pada hakikatnya adalah penyadaran terhadap manusia dalam meyakini dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya dengan benar.
Selanjutnya, pendekatan non penal yang dapat dilakukan terhadap Aliran Sesat adalah dengan pendekatan dialog. Hal ini sangat penting, mengingat sisi spiritualitas dan religiusitas agama pada dasarnya memiliki wajah yang lebih humanis, manusiawi, universal. Menarik apa yang tersurat dalam Al-Qur’an;
Tak ada pemaksaan dalam soal agama. Jelas bedanya yang benar dari yang sesat. Barangsiapa menolak setan dan beriman kepada Allah, ia telah berpegang teguh dengan genggaman tangan yang tak kan lepas. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Tahu. (Al-Baqoroh:256)
Maka berlombalah kamu dalam kebaikan. Kepada Allah tempat kamu kembali, lalu ditunjukkan kepadamu apa yang kamu perselisihkan. (Al-Maidah: 48)
Agama bukanlah sekumpulan doktrin yang mati, statis, simbolis, ataupun utopis. Agama harus benar-benar dipahami sebagai kesatuan nilai-nilai tersebut di atas yang amat personal dan realistis. Sebab itulah penghayatan keagamaan yang baik bisa dilihat dari amal perbuatan, moralitas, serta praktek kehidupan sosial setiap umat. Oleh karena itu menarik apa yang dinyatakan dalam Al-Quran;
Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.(Qs al-Baqarah 2:272)
Jadi, ayat di atas dengan tegas menyatakan bahwa kewajiban manusia hanya sekedar menyampaikan agar sadar akan nilai-nilai luhur suatu agama, selanjutnya, insyaf atau tidaknya seseorang, hanya Tuhan yang menentukan. Degan kata lain, manusia hanya sekedar berusaha, namun Tuhanlah yang menentukannya.

E.     KESIMPULAN


Berdasarkan uraian-uraian di atas, akhirnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut;

1.            Penanggulangan dengan menggunakan hukum pidana (penal)
·         kebijakan penanggulangan aliran sesat dengan menggunakan hukum pidana untuk saat ini dapat dilakukan dengan menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun undang-undang di luar KUHP, terutama UU No 1 Pnps 1965. Kebijakan penanggulangan aliran sesat dengan menggunakan hukum pidana, berarti bahwa hukum pidana difungsikan sebagai sarana pengendali sosial, yaitu dengan sanksinya yang berupa pidana dijadikan sarana menanggulangi kejahatan (aliran sesat). Selain itu, kebijakan penanggulangan aliran sesat dengan menggunakan hukum pidana untuk masa yang akan datang, dapat dilakukan dengan antisipasi yuridis, yaitu mempersiapkan berbagai peraturan yang bersangkut-paut dengan aliran sesat sebagai bagian dari tindak pidana agama, terutama dalam RUU KUHP.
2.            Penanggulangan terhadap aliran sesat melalui upaya non penal dapat ditempuh dengan melakukan pendekatan agama (religion prevention). Di samping itu diperlukan pula pendekatan budaya/kultural, pendekatan moral/edukatif.  Atau dengan kata lain, pendekatan agama merupakan salah satu upaya non penal dalam menanggulangi aliran sesat perbedaan pandangan keagamaan/ kepercayaan. Sedangkan bentuk konkretnya berupa; Pendekatan Pendidikan/ edukatif. Pendekatan kultural

A.    SARAN
Sehubungan dengan hasil-hasil penelitian yang dikemukakan di atas, maka beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut;
1.      Kehidupan beragama yang rukun dan damai merupakan tujuan sekaligus amanat UUD 1945. Untuk mencapai tujuan tersebut, segenap pihak, baik pemerintah maupun bersama-sama hendaknya mengikhtiarkan/ mengusahakan pencapaian tujuan dimaksud.
2.      Kebijakan rasional dalam menanggulangi aliran sesat sebaiknya ditempuh dengan pedekatan/ kebijakan integral, baik dengan menggunakan “penal” maupun dengan sarana “non-penal”
3.      Pencegahan terhadap aliran sesat janganlah  diperlakukan/dilihat  sebagai problem yang  terisolir  dan ditangani dengan metode yang simplistik dan fragmentair, tetapi  seyogya-nya  dilihat sebagai masalah  yang  lebih kompleks  dan ditangani dengan  kebijakan/tindakan  yang luas dan menyeluruh. 
4.      agar tidak menimbulkan masalah sosial, pencegahan terhadap aliran sesat sepatutnya didasarkan pada  penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan. Upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi  yang demikian harus merupakan "strategi  pokok/mendasar  dalam upaya pencegahan aliran sesat”
5.      menjadikan ajaran agama sebagai sumber motivasi, sumber inspirasi, dan sumber evaluasi yang kreatif dalam menanggulangi aliran sesat
6.      memfasilitasi perkembangan keberagamaan dalam masyarakat dengan kemajuan bangsa.
7.      mencegah konflik sosial antar umat beragama dan meningkatkan ( “meningkatkan kerukunan” ) antar umat bangsa, baik dengan pendekatan kultural maupun keagamaan.






DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Tafsirnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemaha/ Pentafsir Al Qur”an, Departemen Agama, 1975

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2002

Barda Nawawi Arief. 1994. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti,

K. Wantjik Saleh, Pelengkap KUHPidana, Ghalia Indonesia, 1976

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982, hal 45

Muhammad Wahyuni Nafis, Passing Over melintasi batas agama, Gramedia Pustaka Agama, Jakarta 1999

Saiful Abdullah, Hukum Aliran Sesat, Konsepsi Kebijakan Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi Aliran Sesat di Indonesia, Setara Press, Malang: 2009

Satjipto Rahardjo, Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum  Universitas Diponegoro, 15 Desember 2000

Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, Bandung 1996

Sunarjo Wreksosuharjdo, Ilmu Pancasila Yuridis Kenegaraan dan Ilmu Filsafat Pancasila .Andi Yogyakarta:Yogyakarta.2001

Abd. A’la, Dialog sebagai Inti Ajaran Agama, Jawa Pos 16 Nopember 2007 hal 4

http//www.kompas.com/kompas-cetak/0006/16/nasional/haru06.htm


[1] Adapun orang yang sesat, ialah mereka yang tidak betul kepercayaannya, atau tidak betul pekerjaan dan amal ibadatnya, serta rusak budi pekertinya. Lihat, Al Qur’an dan Tafsirnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemaha/ Pentafsir Al Qur”an, Departemen Agama, 1975 hal 42
[2] Dalam hadits Rosulullah dinyatakan bahwa perbedaan diantara ulama’ adalah rahmat. Hal ini bisa ditafsirkan bahwa perbedaan pendapat diantara orang-orang yang alim justru merupakan sesuatu hal yang baik. Jika dikaitkan dengan kondisi terkini dapat diartikan bahwa dengan adanya perbedaan diantara para alim ulama dapat berimplikasi pada terbukanya kebebasan berpikir, berekspresi dan menyampaikan pendapat secara demokratis
[3] Tidak tertutup kemungkinan akan terjadi kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Kepincangan mana dikarenakan menyangkut hal-hal yang berlawanan dan tidak sesuai dengan norma dan nilai yang ada dalam masyarakat
[4] Negara (pemerintah) dalam perspektif L.V. Ballard  memiliki tujuan memelihara ketertiban dan peradaban, juga melakukan serangkaian kebijakan ketertiban, perlindungan, mendamaikan perselisihan yang terjadi dalam masyarakat, termasuk aliran sesat sebagai masalah sosial yang meresahkan masyarakat. Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982, hal 45
[5] Khususnya menurut agama Islam  dinilai mendekonstruksi ushuluddin (pokok-pokok agama) khususnya rukun iman dan rukun Islam, mengubah hal-hal yang berkaitan dengan furu’iyah dalam keagamaan, serta mengubah aspek yang berkaitan dengan akidah, seperti mengubah bacaan syahadat atau tauhid dan lain sebagainya
[6] Pada sisi lain, pelaku yang telah divonis sesat merasa hak-hak dasarnya berupa bebas untuk memeluk agama dan keyakinannya tidak dipenuhi oleh undang-undang
[7] Lihat penjelasan UU No. 1/PNPS/1965 romawi I angka 1
[8] Bandingkan;  K. Wantjik Saleh; latar belakang  dikeluarkannya UU No 1 tahun 1965;
-          sila pertama Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) yang tidak dapat dipisahkan dengan agama, merupakan landasan moral dan landasan kesatuan nasional (penjelasan umm no 1)
-          banyaknya penyimpangan dan penodaan agama telah menimbulkan bahaya bagi persatuan nasional dan bahaya bagi agama serta ketentraman beragama (penjelasan umum nomor 2-4)
-          ketentraman beragama perlu di pupuk dengan melakukan pencegahan terhadap “penyelewengan terhadap ajaran pokok agama” dan “penodaan agama serta ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama” (penjelasan umum nomor 4)
K. Wantjik Saleh, Pelengkap KUHPidana, Ghalia Indonesia, 1976 hal 103, lihat juga Barda Nawawi Arief, 2007 op.cit hal 8
[9] lihat kembali penjelasan umum angka 2 UU No 1 Pnps 1965
[10] Barda Nawawi Arief. 2002. op.cit. hal. 2
[11] Pada sisi lain, pelaku yang telah divonis sesat merasa hak-hak dasarnya berupa bebas untuk memeluk agama dan keyakinannya tidak dipenuhi oleh undang-undang
[12] Barda Nawawi Arief, 2007, op.cit hal 8
[13] Ibid hal 11
[14] Muhammad Wahyuni Nafis, Passing Over melintasi batas agama, Gramedia Pustaka Agama, Jakarta 1999 hal 78
[15] Misalkan dialog dan komunikasi intensif terkait perbedaan qunut, tahlilan, penentuan Hari Raya dan lain sebagainya.
[16] Barda Nawawi Arief, 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung; 2005 hal 77-78
[17] Bandingkan dengan logika/ konsep Barda Nawawi Arief dalam konsep penanggulangan Cyber crime. Dalam konsep ini, menurut Barda Nawawi Arief, penanggulangan Cyber crime, harus ditempuh dengan pendekatan teknologi (karena cyber crime merupakan bagian dari penyalahgunaan/ penyimpangan dari tekhnologi, pen). Lihat Barda Nawawi Arief, Kebijakan Penanggulangan Cyber Crime Dan Cyber Sex, op.cit hal 11

104 Sunarjo Wreksosuharjdo, Ilmu Pancasila Yuridis Kenegaraan dan Ilmu Filsafat Pancasila .Andi Yogyakarta:Yogyakarta.2001.hal. 36.
[18] Abd. A’la, Dialog sebagai Inti Ajaran Agama, Jawa Pos 16 Nopember 2007 hal 4
[19] Lihat http//www.kompas.com/kompas-cetak/0006/16/nasional/haru06.htm
[20] Thoha Hamim, et al, 2007.op.cit hal 65
[21] Imam Jalaluddin Al- Mahalliy dan As-Suyuthi, Imam Jalaluddin, 1990, op.cit. hal 118-119
[22] Aibdi Rahmat, Aibdi, Kesesatan dalam Perspektif Al-Qur’an. Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2007 hal 197-198
[23] Selengkapnya dalam buku Saiful Abdullah, Hukum Aliran Sesat, Konsepsi Kebijakan Penal dan Non Penal dalam menanggulangi airan sesat di Indonesia, Setara Press Malang, 2009

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes