Kamis, 26 April 2012

LENGSER DAN LEGOWO, catatan nakal Saiba Al-Bangkalani


Tiga suku kata di atas merupakan suku kata yang memiliki arti antara satu dengan lainnya sangat berkaitan

Suku kata yang pertama adalah fitrah yang berasal dari bahasa yang artinya suci sebagaimana sabda Rosulullah SAW yang artinya,” Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci”. Makna hadis ini dapat diartikan, bahwa proses kelahiran setiap manusia itu terlahir tanpa dosa

Suku kata yang kedua adalah lengser yang artinya meluncur, menggelincir kebawah. Kata-kata lengser ini menjadi sangat populer ketika pak Harto diminta turun dari kursi kepresidenan tahun 1998. Yang kemudian lebih populer dengan istilah lengser keprabon madeg pandito. Artinya seorang raja yang turun tahta kemudian meninggalkan persoalan duniawi sepenuhnya mempersiapkan diri menyucikan diri, dalam istilah Jawa -Madeg pandito-
Seringkali, percepatan lengser keprabon maupun peralihan kekuasaan bisa mengakibatkan munculnya kalimat sombong ,” Gak dadi presiden gak patheken, gak dadi gubernur gak bisulen, gak dadi bupati gak gatelen, gak dadi ketua yo ora kudisen…”, dan seterusnya.
Istilah lengser keprabon madeg pandito ini tidak selamanya berlaku bagi orang Jawa, karena orang Jawa yang mencetuskannya. Istilah ini bisa berlaku kepada siapa saja, termasuk kepala daerah tingkat VI- baca;ketua RT- sekalipun.
Istilah lengser keprabon madeg pandito berbeda dengan istilah tinggal gelanggang colong playu; istilah ini berlaku bagi orang-orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab sama sekali.
Suku kata yang ketiga adalah Legowo.  Legowo dalam kitab-kitab ajaran etis mistis Jawa, sering diungkap dalam kalimat “ Lego lila legowo, lamun kelangan ora gegetun”. Rasa lega adalah longgar ketika seseorang merasa bisa mengeksistensikan dirinya punya peluang untuk melakukan sesuatu, sehingga dapat diartikan pula rasa menerima kenyataan dengan enak kepenak. Nrima tapi tidak putus asa. Inilah seharusnya yang ditunjukkan oleh seseorang yang hilang jabatan atau apa saja
Legowo adalah sikap. Namun demikian, di belakang kelegowoan mengandung keterikatan emosional dengan sesuatu yang dikuasai atau dimilikinya, karena sikap ini juga tidak bisa dilepaskan dari motifasi seseorang terhadap yang dikuasainya itu.
Jika ketiga suku kata diatas dirangkai dan diilustrasikan pada kondisi politik adalah; ada seorang raja yang lengser atau dilengserkan prabon, tetapi legowo, sehingga mendapatkan fitrah/ Madeg pandito. Tapi, pada kenyataannya jarang ada orang yang demikian, biasanya cenderung mempertahankan kekuasaan. Seseorang yang kehilangan yang dicintainya pasti ia mempertahankan, apakah itu harta, tahta atau wanita, sebab didalamnya pasti ada motif untuk mempertahankan.

Dalam banyak hal ada ilustrasi yang melukiskan seseorang yang tidak menerima kenyataan, contohny ada ayah memiliki putri cantik. Sejak kecil dia mengasuh, membiayai, membesarkan, mendidik dan lain sebagainya. Pada saat putrinya akan menikah,” Karena tidak rela kehilangan”, lantas minta mahar besar. Maka ayah yang demikian adalah ayah yang tidak punya sikap legowo. Mungkin mau mengawini anaknya sendiri.
Keterikatan emosional inilah yang mengakibatkan seseorang susah kalau kehilangan sesuatu yang disukainya. Dibelakang itu ada motif, ada kebutuhan akan barang atau jabatan yang ia sukai itu.

Dilema damai atau radikal hanyalah terkait dengan momentum sejarah yang tepat kapan peralihan itu harus muncul- mungkin dalam situasi tertentu, alternatif perlihan damai adalah pilihan, tapi pada saat lain, peralihan radikalpun menjadi bagian yang tak terhindarkan sebagaimana dalam istilah islam yang menyatakan, “La yatimmul wajib illa bih fahua wajib”, arti bebasnya, jika tertib sosial politik sebagai kemutlakan tidak dapat diraih tanpa reformasi damai, maka reformasi radikal menjadi pilihan yang wajib hukumnya.
Inilah mungkin kesulitan seorang pemimpin untuk menerima kenyataan sehingga MENEMPUH BERBAGAI CARA termasuk mendalangi aksi dan demontrasi yang buntut buntutnya sangat merugikan kepentingan masyarakat banyak, sekalipun demonstrasi itu adalah hak.
Penguasa berarti sang pencipta waktu, sang pemutar waktu dan sang pembuat sejarah. Karena itu tak suka sejarah akan menuju ketitik balik. Sejarah harus berjalan terus kesuatu tempat dimana penguasa dulu mengutilnya.
Beberapa waktu terakhir suhu politik di negeri ini semakin memanas saja, seiring dengan bergulirnya proses pemilihan, entah pemilu (Pameloh) pilpres,pilKADAL, dan pil-pil lainnya . Suhu politik itu semakin tersasa panas manakala ada beberapa orang yang tidak puas dengan prose yang terjadi, sehingga pengerahan massa  dilakukan oleh orang-orang yang ingin mencapai tujuannya, dan aksi demonstrasi merupakan fakta yang tidak terelakkan.
Terkait dengan inilah, orang  yang melakukan ibadah secara khusuk, dijanjikan oleh Allah ampunan dosa-dosanya selain sesama manusia, sebelum yang bersangkutan memberikan maafnya dan kita dikembalikan dalam keadaan suci, bersih dan fitrah sebagaimana dilahirkan.
Seharusnya pergantian tahun ini dipergunakan sepenuh hati oleh kita semua untuk mengendapkan diri, memandang diri sendiri secara jernih, serta dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin kita untuk melakukan introspeksi. Sehingga menemukan SIKAP DAN KESADARAN UNTUK MENOMORSATUKAN NASIB RAKYATNYA DAN MENOMORDUAKAN KEPENTINGAN SENDIRI-SENDIRI. Maka betapa rasa syukur kita haturkan kehadlirat Allah Swt.
Patut dicatat, ketabahan Masyarakat ini menghadapi kenyataan hidup dengan penuh santun dan kasih sayang seperti yang mereka lakukan pada umat layaknya anak-anaknya sendiri seakan-akan sirna sudah.
Timbul pertanyaan dalam benak kita masing-masing, apakah masyarakat kita sudah sedemikian gampang naik darah/darah tinggi secara kolektif karena mungkin bangsa ini terlalu banyak mengkonsumsi garam, dan bahkan barang-barang haram
Akan tetapi yang kita jumpai akhir-akhir ini adalah pemandangan yang kurang lebih sama dengan tahun-tahun sebelumnya; pertengkaran-pertengkaran yang tak hentinya, dendam dan nafsu untuk berkuasa sendiri dikalangan para pemimpin sehingga rakyatnya yang merasa terus dipinggirkan dan disinggkirkan kebutuhannya menjadi putus asa dan membiarkan mereka tenggelam dalam anarkhi dan amuk.
Bisa dipahami mengapa kecenderungan perilaku masayarakat di atas semakin menjadi-jadi. Rupanya mereka sudah tenggelam sedemikian rupa dalam suasana traumatik terhadap perilaku dan sikab bangsa kita sendiri, dan disisi lain mereka sudah tidak sanggup lagi memerdekakan diri dari cengkeraman amuk dan nafsu amarah. Dan ketidakmampuan semacam ini sama sekali bukan dosa. Bahkan kalaupun pada akhirnya masyarakat semakin membenci kepada pemimpin tertentu, juga sama sekali bukan kejahatan.
Terakhir, menarik untuk direnungkan bersama apa yang pernah diungkapkan sang  KIAI MBELING:
Jika berkuasa adalah merendahkan yang lain. Kalau memang bagimu kehidupan adalah perjuangan untuk berkuasa dan mengalahkan saudara-saudaramu sendiri; kalau memang bagimu kehidupan adalah mengincar dan menikam punggung saudaramu sendiri dari belakang;
Kalau memang bagimu kehidupan adalah mengganti monopoli di tangan orang lain dengan monopoli di tanganmu, atau menggusur hegemoni di genggaman orang lain menjadi hegemoni di genggamanmu, atau mengusir macan untuk engkau macani sendiri -- maka pertanyaanku, apakah itu adalah tawaran dari nurani dan kesadaranmu agar kita percepat saja proses untuk saling musnah memusnahkan

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes